“Menikah..??”
“Ya?”
“Tentu.” Jawab Ayesha tanpa ragu.
“Pertimbangkan dulu. Jangan cepat ambil keputusan.”
Bibinya berkata benar. Ayesha sedikit tersipu, tangannya membenahi abaya yang dipakainya dengan rikuh. “Dengan siapa, Ammah?”
Wajah lembut itu tiba-tiba mengeras. Kedua matanya mendadak menyembung. Mungkin karena airmata yang siap turun, entah kenapa. Luapan bahagiakah, karena keponakan yang diurusnya sejak kecil ini, akhirnya ada yang meminang? Ayesha menunggu jawaban dari amahnya. Tapi beberapa kejap hanya dilalui gelombang senyap.
“Ammah?.dengan siapa?”
Pandangan tajam wanita berumur itu menembus bola mata Ayesha. Seperti menimbang-nimbang kesiapan keponakan yang dicintainya itu, menikah. Ayesha membalas pandang, lebih karena ia tak mengerti kenapa pernikahan, kalau memang itu yang akan terjadi padanya, tak disambut ammah dengan riang, seperti pernikahan pada umumnya.
“Dengan Ayyash!”
“Ayyash..?? “
Ammah mengangguk. Wajahnya pucat, namun terkesan lega. Biarlah? biarlah Ayesha yang memutuskan, ini hidupnya. Suara hati wanita itu bicara. Di depannya tubuh Ayesha seperti kaku. Seolah tak percaya. Senang, tapi juga tahu apa yang akan dihadapinya. Berita itu mungkin benar. Yang jadi pertanyaan, siapkah dia..?
“Kau pikirkanlah dulu. Ya..? Ia memberi waktu sampai tiga hari. Katanya lebih cepat, lebih baik.”
Ayesha masih tak bergerak. Pandangannya menembus jendela, menyisiri rumah-rumah di lingkungannya, dan debu tebal yang terembus dijalan. Pernikahan?.sungguh penantian semua gadis. Dengan Ayyash pula, siapa yang keberatan..??
Tapi semuapun tahu, apa arti sebuah pernikahan di Palestina. Tantangan, perjuangan lain yang membutuhkan kesiapan lebih besar. Terutama bagi setiap gadis, yang menikahi pemuda pejuang macam Ayyash!
Dulu sekali, sewaktu kecil, ia tak memungkiri, kerap memperhatikan Ayyash dan teman-temannya dari balik kerudung yang biasa ditutupkannya ke wajah, jika mereka kebetulan berpapasan. Mereka bertetangga. Begitulah Ayesha mengenal Ayyash, dan melihat bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya, tumbuh dewasa. Ayah Ayyash salah satu pemegang pimpinan tertinggi di Hamas, sebelum tewas dalam aksi penyerangan markas tentara Israel. Ibunya, memimpin para wanita Palestina dalam berbagai kesempatan, mencegat dan mengacaukan barisan tentara Yahudi, yang sedang melakukan pengejaran atas pejuang Intifadah.
Mereka biasa muncul tiba-tiba dari balik tikungan yang sepi, atau memadat di pasar-pasar, dan menyulitkan pasukan Israel yang mencari penyusup. Bukan tanpa resiko, karena semuapun tahu, para tentara itu tak menaruh kasih pada perempuan atau anak-anak. Para perempuan yang bergabung, menyadari betul apa yang mereka hadapi. Terkena tamparan atau tendangan, bahkan popor senapan, hingga tubuh mengucurkan darah, bahkan terlepasnya nyawa, adalah taruhannya.
Ayesha sejak lima tahun lalu, tak pernah meninggalkan satu kalipun aksi yang diadakan. Ia iri dengan para lelaki yang mendapat kesempatan lebih memegang senjata. Itu sebabnya kemudian gadis berkulit putih kemerahan itu, tak ingin kehilangan kesempatan jihadnya, sejak usia balita.
Tiga tahun lalu, ketika ibunda Ayyash syahid, dalam suatu aksinya, setelah sebuah peluru mendarat di dahinya, mereka semua datang, juga Ayesha, untuk menyalatkan wanita pejuang itu. Pedihnya kehilangan ummi, Ayesha menyadari perasaan berduka yang bagaimanapun memang manusiawi. Begitu kagumnya ia melihat ketegaran Ayyash, mengatur semua prosesi, hinga tanah menutup dan memisahkannya dari bunda tercinta. Tak ada sedu sedan, tak ada air mata. Hanya doa yang terucap tak putus. Begitulah Ayyash menghadapi kehilangan abi, saudara-saudara lelakinya, adik perempuannya yang paling kecil, lalu terakhir ummi yang dikasihi. Begitu pula yang dipahami Ayesha, cara pejuang menghadapi kematian keluarga yang mereka cintai.
Dan kini, Ayesha dua puluh dua tahun. Masih menyimpan pendar kekaguman dan simpati yang sama bagi Ayyash. Bocah lelaki bermata besar itu sudah menjelma menjadi lelaki gagah, dengan kulit merah kecoklatan, hidungbangir, dan mata setajam elang. Semangat perjuangan dan ketabahan lelaki itu sungguh luar biasa.
Sewaktu dua abangnya melakukan aksi bom bunuh diri, meledakkan gudang logistik Israel, ia hanya mengucap innalillahi, sebelum bangkit bangkit dan menggemakan Allahu Akbar, saat memasuki rumah, dan mengabarkan berita itu pada umminya. Lalu ketika Fatimah, adiknya yang berpapasan dengan tentara, diperkosa, dan dibunuh seblum dilemparkan dijalan dengan tubuh tercabik-cabik. Ayyash masih setabah sebelumnya. Padahal siapapun tahu, cintanya pada Fatimah, bungsu di keluarga mereka. Ayesha tak mengerti, terbuat dari apa hati lelaki itu. Setelah semua kehilangan, tak ada dendam yang lalu membuatnya menyerang membabi buta, atau meluapkan amarah dengan makian kotor. Ayyash menerima semua itu dengan keikhlasan luar biasa. Hanya matanya yang sesekali masih berkilat, saat ada yang menyebut nama adiknya. Diluar itu, hanya keshalihan, dan ketaatannya pada koordinasi gerak Hamas, yang kian bertambah. Begitu, dari hari ke hari.
Mereka berhadapan. Pertama kali dalam hidupnya ia bisa bebas menatap wajah lelaki itu dari jarak dekat. Ayyash yang tenang, Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum lebih sering, sejak ijab kabul diucapkan, meresmikan keberadaan keduanya.
Ayyash yang tenang dan hati Ayesha yang bergemuruh. Bukan saja karena kebahagiaan yang meluap-luap, tapi oleh sesuatu yang lain. Sebetulnya hal itu ingin disampaikannya pada lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Namun saat terbayang apa yang telah dialami Ayyash, dan senyum yang pertama kali dilihatnya begitu cerah. Batin Ayesha urung. Biarlah? nanti-nanti saja, atau tidak sama sekali, pikirnya. Ia tak mau ada yang merisaukan hati lelaki itu, terlebih karena waktu yang mereka miliki tak banyak. Bahkan sebentar sekali.
Dua hari lalu, Ayyash sendiri yang menyampaikan kebenaran berita itu, niatan lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, yang sudah selama dua pekan ini dibicarakan orang dari mulut ke mulut.
“Ayyash mencari istri..!”
“Ia akan menikah secepatnya, akhirnya.”
“Tapi siapa yang akan menerima pernikahan berusia sehari semalam..?”
Percakapan gadis-gadis di lingkungan mereka. Awalnya Ayesha tak mengerti.
“Kenapa sehari semalam..?” tanyanya pada ammahnya.
“Sebab lelaki itu sudah menentukan hari kematiannya, Ayesha, Kini tinggal sepekan lagi. Waktunya hampir habis.”
Ayesha ingat ia menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba melanda. Ayyash pasti sudah menyanggupi melakukan aksi bom bunuh diri, seperti dua saudaranya dahulu. Cuma itu alasan bisa diterima, kenapa pejuang yang selama ini terkesan tak peduli dan tak pernah memikirkan untuk menikah, karena mobilitasnya yang tinggi, tiba-tiba seolah tak sabar untuk segera menikah.
“Saya ingin menghadap Allah, yang telah memberi begitu banyak kemuliaan pada diri dan keluarga saya, dalam keadaaan sudah menyempurnakan separuh agama.” Kalimat panjang lelaki itu, wajahnya yang menunduk, dan rahangnya yang terkatup rapat. Menunggu jawaban darinya. Ayesha merekam semua itu dalam ingatannya. Dua hari lalu, saat khitbah dilangsungkan.
“Ya?” jawabnya memecah kesunyian. Ammah serta merta memeluknya dengan wajah berurai air mata.
Bahagia bercampur kesedihan atas keputusan Ayesha. Membayangkan keponakannya yang selalu dibanggakan karena semangatnya yang tak pernah turun, akan menjalani pernikahan. Yang malangnya, bahkan lebih pendek dari umur jagung.
Berganti-ganti Ayesha melihat wajah ammah yang basah air mata, lalu senyum dari bibir Ayyash yang tak henti melantunkan hamdalah. Di depan Ayesha, Ayyash tampak begitu bahagia, karena tiga hari, sebelum tugas itu dilaksanakan, ia berhasil menemukan pengantinnya. Seorang bidadari dalam perjuangan yang ia hormati, dan kagumi mental maupun fisiknya.
Ya. Ayesha. Mereka masih bertatapan. Saling menyunggingkan senyum. Ayesha yang wajahnya masih sering bersemu dadu, tampak sangat cantik dimata Ayyash. Pengantinnya?, bidadarinya?.kata-kata itu diulangnya berkali-kali dalam hati. Namun betapapun cantiknya Ayesha, Ayyash tak hendak melanggar janji yang ditekadkan jauh dalam sanubarinya.
“Ayesha?..saya tak menginginkanmu, bukan karena saya tak menghormatimu.” Senyum Ayesha surut. Matanya yang gemintang menatap Ayyash tak berkedip, menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Ini malam pertama mereka, dan setelah ini, tak akan ada malam-malam lain. Besok selepas waktu dhuha, lelaki itu akan menemukan penggal akhir hidupnya, menemui kekasih sejati. Allah Rabbul Izzati.
Tak layakkah Ayesha memberikan yang terbaik baginya? Bagi ia yang akan menjelang syahid?
Pendar dimata Ayesha luruh. Ayyash mendongakkan dagunya, tangannya yang lain menggenggam jari-jari panjang Ayesha, seakan mengerti isi hati istrinya.
“Saya mencintaimu, Ayesha. Dan saya meridhai semua yang telah dan akan Ayesha lakukan, selama kebersamaan ini dan setelah saya pergi. Saya percaya dan berdoa, Allah akan memberimu seorang suami yang lebih baik, selepas kepergian saya.”
Ayesha tersenyum. Menyembunyikan hatinya yang masih gemuruh. Seandainya ia bisa menceritakannya pada Ayyash. Tapi ia tak sanggup.
“Tak apa. Aya mengerti.” Cuma itu yang bisa dikatakannya pada Ayyash.
Suasana sekitar hening. Langit tanpa bulan tak mempengaruhi kebahagiaan di hati Ayyash. Bulan, baginya, malam ini telah menjelma pada kerelaan dan keikhlasan istrinya.
“Saya ingin, Ayesha bisa mendapatkan yang terbaik.” Lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Dan karenanya saya merasa wajib menjaga kehormatanmu. Kita bicara saja, ya..? Ceritakan sesuatu yang saya tak tahu, Ayesha.”
Ayesha menatap mata Ayyash, lagi. Disana ia bisa melihat kegarangan dan keteduhan melebur satu. Sambil ia berpikir keras, apa yang bisa diceritakannya pada lelaki itu? Tak lama dari bibir wanita itu meluncur cerita-cerita lucu tentang masa kecil mereka. Canda teman-teman mainnya, dan kegugupannya saat pertama berhadapan dengan Ayyash. Juga jari-jari tangannya yang berkeringat saat ia mencium tangan-tangan Ayyash pertama kali. Betapa ia hampir terjatuh karena keram, akibat duduk terlalu lama, ketika mencoba bangun menyambut orang-orang yang datang menyalami mereka tadi pagi. Diantara senyum dan derai tawa suaminya, Ayesha masih berpikir tentang lelaki yang duduk dihadapannya. Sungguh ia ingin membahagiakan Ayyash, dengan cara apapun. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Ayyash, membuat Ayesha tak habis berpikir. Kenapa kebahagiaan orang lain, bisa begitu membuatnya bahagia?
Tapi, inilah kebahagiaan itu, bisiknya sesaat setelah mereka menyelesaikan sholat malam dan tilawah bersama. Kali pertama dan terakhir, Kebahagiaan bukan pada umumnya, tapi pada esensi kata bahagia. Dan Ayesha belum pernah sebahagia itu sebelumnya.
Mereka masih belum bosan menatap satu sama lain, dan berpegangan tangan. Saat ia merebahkan diri di dada Ayyash setelah sholat Shubuh, lelaki itu tak menolak.
“Biarkan saya berbakti padamu Ayyash.” Ia ingat Ayyash menundukkan wajah dalam, seperti berpikir keras, sebelum kemudian mengangguk dan menerimanya.
Beberapa jam lagi, Ayesha menghitung dalam hati. Kedua matanya memandangi wajah Ayyash yang pulas didepannya. Tinggal beberapa jam lagi, dan mereka akan tinggal kenangan. Dirinya dalam kenangan Ayyash, Ayyash dalam kenangan orang-orang sekitarnya.
Ketika fajar mulai menampakkan diri, Ayesha yang telah rapi, kembali menatap wajah Ayyash yang tertidur pulas, mencium kening dan tangan lelaki itu, sebelum meninggalkan rumah dengan langkah pelan...
Ia terbangun oleh gedoran di pintu. Pukul setengah tujuh pagi. Kerumunan didepan rumahnya. Pagi pertama pernikahan mereka, Ada apa?
“Ayyash?..istrimu. Ayesha?”
Ada titik air meruah di wajah ammah Ayesha. Lalu suara-suara gamang yang berdengung. Saling meningkahi, semua seperti tak sabar menyampaikan berita itu padanya.
“Setengah jam lalu, Ayyash. Ledakan. Ayesha yang melakukannya.”
“Gudang peluru itu. Bunyi. Bagaimana kau bisa tak mendengar..??”
Ayyash merasa tubuhnya mengejang. Istrinya?..Ayesha mendahuluinya..? Kepalan tangannya mengeras. Mengenang semua keceriaan dan kejenakaan, serta upaya Ayesha membahagiakannya semalam. Jadi?..masya Allah..! ! Istrinya kini?.benar-benar bidadari?
Pikiran itu menghapuskan rasa pedih yang sesaat tadi mencoba menguasai hatinya. Meski senyum kehilangan belum lepas dari wajah lelaki itu, sewaktu ia undur diri, dari kerumunan didepan rumah. Keramaian yang sama masih menantinya dengan sabar, ketika tak lama kemudian lelaki itu berkemas, lalu dengan ketenangan yang tak terusik, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.
Waktunya tinggal sebentar. Tentara Israel pasti akan melakukan patroli kemari, sesegera mungkin, setelah apa yang dilakukan Ayesha. Ia harus segera pergi. Ayyash mempercepat langkahnya. Teman-temannya sudah menunggu dalam Jip terbuka yang membawa mereka berempat.
Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. Semua melarutkan diri dalam dzikir dan memutihkan niatan. Operasi hari ini rencananya akan menghancurkan salah satu pusat militer Israel di daerah perbatasan. Memimpin paling depan, langkah Ayyash sedikitpun tak digelayuti keraguan, saat diam-diam mereka menyusup. Allah memberinya bidadari, dan tak lama lagi, ia akan menyusulnya.
Pikiran bahagianya bicara. Ayyash tersenyum, mengaktifkan alat peledak yang melilit badannya. Ini., untuk perjuangan.
Dan.. bumi yang terharu atas perjuangan anak-anaknya, pun meneteskan air mata.
Hujan pertama pagi itu, untuk Ayyash dan Ayesha.
Sumber dari Tukang Kompor
“Ya?”
“Tentu.” Jawab Ayesha tanpa ragu.
“Pertimbangkan dulu. Jangan cepat ambil keputusan.”
Bibinya berkata benar. Ayesha sedikit tersipu, tangannya membenahi abaya yang dipakainya dengan rikuh. “Dengan siapa, Ammah?”
Wajah lembut itu tiba-tiba mengeras. Kedua matanya mendadak menyembung. Mungkin karena airmata yang siap turun, entah kenapa. Luapan bahagiakah, karena keponakan yang diurusnya sejak kecil ini, akhirnya ada yang meminang? Ayesha menunggu jawaban dari amahnya. Tapi beberapa kejap hanya dilalui gelombang senyap.
“Ammah?.dengan siapa?”
Pandangan tajam wanita berumur itu menembus bola mata Ayesha. Seperti menimbang-nimbang kesiapan keponakan yang dicintainya itu, menikah. Ayesha membalas pandang, lebih karena ia tak mengerti kenapa pernikahan, kalau memang itu yang akan terjadi padanya, tak disambut ammah dengan riang, seperti pernikahan pada umumnya.
“Dengan Ayyash!”
“Ayyash..?? “
Ammah mengangguk. Wajahnya pucat, namun terkesan lega. Biarlah? biarlah Ayesha yang memutuskan, ini hidupnya. Suara hati wanita itu bicara. Di depannya tubuh Ayesha seperti kaku. Seolah tak percaya. Senang, tapi juga tahu apa yang akan dihadapinya. Berita itu mungkin benar. Yang jadi pertanyaan, siapkah dia..?
“Kau pikirkanlah dulu. Ya..? Ia memberi waktu sampai tiga hari. Katanya lebih cepat, lebih baik.”
Ayesha masih tak bergerak. Pandangannya menembus jendela, menyisiri rumah-rumah di lingkungannya, dan debu tebal yang terembus dijalan. Pernikahan?.sungguh penantian semua gadis. Dengan Ayyash pula, siapa yang keberatan..??
Tapi semuapun tahu, apa arti sebuah pernikahan di Palestina. Tantangan, perjuangan lain yang membutuhkan kesiapan lebih besar. Terutama bagi setiap gadis, yang menikahi pemuda pejuang macam Ayyash!
Dulu sekali, sewaktu kecil, ia tak memungkiri, kerap memperhatikan Ayyash dan teman-temannya dari balik kerudung yang biasa ditutupkannya ke wajah, jika mereka kebetulan berpapasan. Mereka bertetangga. Begitulah Ayesha mengenal Ayyash, dan melihat bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya, tumbuh dewasa. Ayah Ayyash salah satu pemegang pimpinan tertinggi di Hamas, sebelum tewas dalam aksi penyerangan markas tentara Israel. Ibunya, memimpin para wanita Palestina dalam berbagai kesempatan, mencegat dan mengacaukan barisan tentara Yahudi, yang sedang melakukan pengejaran atas pejuang Intifadah.
Mereka biasa muncul tiba-tiba dari balik tikungan yang sepi, atau memadat di pasar-pasar, dan menyulitkan pasukan Israel yang mencari penyusup. Bukan tanpa resiko, karena semuapun tahu, para tentara itu tak menaruh kasih pada perempuan atau anak-anak. Para perempuan yang bergabung, menyadari betul apa yang mereka hadapi. Terkena tamparan atau tendangan, bahkan popor senapan, hingga tubuh mengucurkan darah, bahkan terlepasnya nyawa, adalah taruhannya.
Ayesha sejak lima tahun lalu, tak pernah meninggalkan satu kalipun aksi yang diadakan. Ia iri dengan para lelaki yang mendapat kesempatan lebih memegang senjata. Itu sebabnya kemudian gadis berkulit putih kemerahan itu, tak ingin kehilangan kesempatan jihadnya, sejak usia balita.
Tiga tahun lalu, ketika ibunda Ayyash syahid, dalam suatu aksinya, setelah sebuah peluru mendarat di dahinya, mereka semua datang, juga Ayesha, untuk menyalatkan wanita pejuang itu. Pedihnya kehilangan ummi, Ayesha menyadari perasaan berduka yang bagaimanapun memang manusiawi. Begitu kagumnya ia melihat ketegaran Ayyash, mengatur semua prosesi, hinga tanah menutup dan memisahkannya dari bunda tercinta. Tak ada sedu sedan, tak ada air mata. Hanya doa yang terucap tak putus. Begitulah Ayyash menghadapi kehilangan abi, saudara-saudara lelakinya, adik perempuannya yang paling kecil, lalu terakhir ummi yang dikasihi. Begitu pula yang dipahami Ayesha, cara pejuang menghadapi kematian keluarga yang mereka cintai.
Dan kini, Ayesha dua puluh dua tahun. Masih menyimpan pendar kekaguman dan simpati yang sama bagi Ayyash. Bocah lelaki bermata besar itu sudah menjelma menjadi lelaki gagah, dengan kulit merah kecoklatan, hidungbangir, dan mata setajam elang. Semangat perjuangan dan ketabahan lelaki itu sungguh luar biasa.
Sewaktu dua abangnya melakukan aksi bom bunuh diri, meledakkan gudang logistik Israel, ia hanya mengucap innalillahi, sebelum bangkit bangkit dan menggemakan Allahu Akbar, saat memasuki rumah, dan mengabarkan berita itu pada umminya. Lalu ketika Fatimah, adiknya yang berpapasan dengan tentara, diperkosa, dan dibunuh seblum dilemparkan dijalan dengan tubuh tercabik-cabik. Ayyash masih setabah sebelumnya. Padahal siapapun tahu, cintanya pada Fatimah, bungsu di keluarga mereka. Ayesha tak mengerti, terbuat dari apa hati lelaki itu. Setelah semua kehilangan, tak ada dendam yang lalu membuatnya menyerang membabi buta, atau meluapkan amarah dengan makian kotor. Ayyash menerima semua itu dengan keikhlasan luar biasa. Hanya matanya yang sesekali masih berkilat, saat ada yang menyebut nama adiknya. Diluar itu, hanya keshalihan, dan ketaatannya pada koordinasi gerak Hamas, yang kian bertambah. Begitu, dari hari ke hari.
Mereka berhadapan. Pertama kali dalam hidupnya ia bisa bebas menatap wajah lelaki itu dari jarak dekat. Ayyash yang tenang, Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum lebih sering, sejak ijab kabul diucapkan, meresmikan keberadaan keduanya.
Ayyash yang tenang dan hati Ayesha yang bergemuruh. Bukan saja karena kebahagiaan yang meluap-luap, tapi oleh sesuatu yang lain. Sebetulnya hal itu ingin disampaikannya pada lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Namun saat terbayang apa yang telah dialami Ayyash, dan senyum yang pertama kali dilihatnya begitu cerah. Batin Ayesha urung. Biarlah? nanti-nanti saja, atau tidak sama sekali, pikirnya. Ia tak mau ada yang merisaukan hati lelaki itu, terlebih karena waktu yang mereka miliki tak banyak. Bahkan sebentar sekali.
Dua hari lalu, Ayyash sendiri yang menyampaikan kebenaran berita itu, niatan lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, yang sudah selama dua pekan ini dibicarakan orang dari mulut ke mulut.
“Ayyash mencari istri..!”
“Ia akan menikah secepatnya, akhirnya.”
“Tapi siapa yang akan menerima pernikahan berusia sehari semalam..?”
Percakapan gadis-gadis di lingkungan mereka. Awalnya Ayesha tak mengerti.
“Kenapa sehari semalam..?” tanyanya pada ammahnya.
“Sebab lelaki itu sudah menentukan hari kematiannya, Ayesha, Kini tinggal sepekan lagi. Waktunya hampir habis.”
Ayesha ingat ia menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba melanda. Ayyash pasti sudah menyanggupi melakukan aksi bom bunuh diri, seperti dua saudaranya dahulu. Cuma itu alasan bisa diterima, kenapa pejuang yang selama ini terkesan tak peduli dan tak pernah memikirkan untuk menikah, karena mobilitasnya yang tinggi, tiba-tiba seolah tak sabar untuk segera menikah.
“Saya ingin menghadap Allah, yang telah memberi begitu banyak kemuliaan pada diri dan keluarga saya, dalam keadaaan sudah menyempurnakan separuh agama.” Kalimat panjang lelaki itu, wajahnya yang menunduk, dan rahangnya yang terkatup rapat. Menunggu jawaban darinya. Ayesha merekam semua itu dalam ingatannya. Dua hari lalu, saat khitbah dilangsungkan.
“Ya?” jawabnya memecah kesunyian. Ammah serta merta memeluknya dengan wajah berurai air mata.
Bahagia bercampur kesedihan atas keputusan Ayesha. Membayangkan keponakannya yang selalu dibanggakan karena semangatnya yang tak pernah turun, akan menjalani pernikahan. Yang malangnya, bahkan lebih pendek dari umur jagung.
Berganti-ganti Ayesha melihat wajah ammah yang basah air mata, lalu senyum dari bibir Ayyash yang tak henti melantunkan hamdalah. Di depan Ayesha, Ayyash tampak begitu bahagia, karena tiga hari, sebelum tugas itu dilaksanakan, ia berhasil menemukan pengantinnya. Seorang bidadari dalam perjuangan yang ia hormati, dan kagumi mental maupun fisiknya.
Ya. Ayesha. Mereka masih bertatapan. Saling menyunggingkan senyum. Ayesha yang wajahnya masih sering bersemu dadu, tampak sangat cantik dimata Ayyash. Pengantinnya?, bidadarinya?.kata-kata itu diulangnya berkali-kali dalam hati. Namun betapapun cantiknya Ayesha, Ayyash tak hendak melanggar janji yang ditekadkan jauh dalam sanubarinya.
“Ayesha?..saya tak menginginkanmu, bukan karena saya tak menghormatimu.” Senyum Ayesha surut. Matanya yang gemintang menatap Ayyash tak berkedip, menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Ini malam pertama mereka, dan setelah ini, tak akan ada malam-malam lain. Besok selepas waktu dhuha, lelaki itu akan menemukan penggal akhir hidupnya, menemui kekasih sejati. Allah Rabbul Izzati.
Tak layakkah Ayesha memberikan yang terbaik baginya? Bagi ia yang akan menjelang syahid?
Pendar dimata Ayesha luruh. Ayyash mendongakkan dagunya, tangannya yang lain menggenggam jari-jari panjang Ayesha, seakan mengerti isi hati istrinya.
“Saya mencintaimu, Ayesha. Dan saya meridhai semua yang telah dan akan Ayesha lakukan, selama kebersamaan ini dan setelah saya pergi. Saya percaya dan berdoa, Allah akan memberimu seorang suami yang lebih baik, selepas kepergian saya.”
Ayesha tersenyum. Menyembunyikan hatinya yang masih gemuruh. Seandainya ia bisa menceritakannya pada Ayyash. Tapi ia tak sanggup.
“Tak apa. Aya mengerti.” Cuma itu yang bisa dikatakannya pada Ayyash.
Suasana sekitar hening. Langit tanpa bulan tak mempengaruhi kebahagiaan di hati Ayyash. Bulan, baginya, malam ini telah menjelma pada kerelaan dan keikhlasan istrinya.
“Saya ingin, Ayesha bisa mendapatkan yang terbaik.” Lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Dan karenanya saya merasa wajib menjaga kehormatanmu. Kita bicara saja, ya..? Ceritakan sesuatu yang saya tak tahu, Ayesha.”
Ayesha menatap mata Ayyash, lagi. Disana ia bisa melihat kegarangan dan keteduhan melebur satu. Sambil ia berpikir keras, apa yang bisa diceritakannya pada lelaki itu? Tak lama dari bibir wanita itu meluncur cerita-cerita lucu tentang masa kecil mereka. Canda teman-teman mainnya, dan kegugupannya saat pertama berhadapan dengan Ayyash. Juga jari-jari tangannya yang berkeringat saat ia mencium tangan-tangan Ayyash pertama kali. Betapa ia hampir terjatuh karena keram, akibat duduk terlalu lama, ketika mencoba bangun menyambut orang-orang yang datang menyalami mereka tadi pagi. Diantara senyum dan derai tawa suaminya, Ayesha masih berpikir tentang lelaki yang duduk dihadapannya. Sungguh ia ingin membahagiakan Ayyash, dengan cara apapun. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Ayyash, membuat Ayesha tak habis berpikir. Kenapa kebahagiaan orang lain, bisa begitu membuatnya bahagia?
Tapi, inilah kebahagiaan itu, bisiknya sesaat setelah mereka menyelesaikan sholat malam dan tilawah bersama. Kali pertama dan terakhir, Kebahagiaan bukan pada umumnya, tapi pada esensi kata bahagia. Dan Ayesha belum pernah sebahagia itu sebelumnya.
Mereka masih belum bosan menatap satu sama lain, dan berpegangan tangan. Saat ia merebahkan diri di dada Ayyash setelah sholat Shubuh, lelaki itu tak menolak.
“Biarkan saya berbakti padamu Ayyash.” Ia ingat Ayyash menundukkan wajah dalam, seperti berpikir keras, sebelum kemudian mengangguk dan menerimanya.
Beberapa jam lagi, Ayesha menghitung dalam hati. Kedua matanya memandangi wajah Ayyash yang pulas didepannya. Tinggal beberapa jam lagi, dan mereka akan tinggal kenangan. Dirinya dalam kenangan Ayyash, Ayyash dalam kenangan orang-orang sekitarnya.
Ketika fajar mulai menampakkan diri, Ayesha yang telah rapi, kembali menatap wajah Ayyash yang tertidur pulas, mencium kening dan tangan lelaki itu, sebelum meninggalkan rumah dengan langkah pelan...
Ia terbangun oleh gedoran di pintu. Pukul setengah tujuh pagi. Kerumunan didepan rumahnya. Pagi pertama pernikahan mereka, Ada apa?
“Ayyash?..istrimu. Ayesha?”
Ada titik air meruah di wajah ammah Ayesha. Lalu suara-suara gamang yang berdengung. Saling meningkahi, semua seperti tak sabar menyampaikan berita itu padanya.
“Setengah jam lalu, Ayyash. Ledakan. Ayesha yang melakukannya.”
“Gudang peluru itu. Bunyi. Bagaimana kau bisa tak mendengar..??”
Ayyash merasa tubuhnya mengejang. Istrinya?..Ayesha mendahuluinya..? Kepalan tangannya mengeras. Mengenang semua keceriaan dan kejenakaan, serta upaya Ayesha membahagiakannya semalam. Jadi?..masya Allah..! ! Istrinya kini?.benar-benar bidadari?
Pikiran itu menghapuskan rasa pedih yang sesaat tadi mencoba menguasai hatinya. Meski senyum kehilangan belum lepas dari wajah lelaki itu, sewaktu ia undur diri, dari kerumunan didepan rumah. Keramaian yang sama masih menantinya dengan sabar, ketika tak lama kemudian lelaki itu berkemas, lalu dengan ketenangan yang tak terusik, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.
Waktunya tinggal sebentar. Tentara Israel pasti akan melakukan patroli kemari, sesegera mungkin, setelah apa yang dilakukan Ayesha. Ia harus segera pergi. Ayyash mempercepat langkahnya. Teman-temannya sudah menunggu dalam Jip terbuka yang membawa mereka berempat.
Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. Semua melarutkan diri dalam dzikir dan memutihkan niatan. Operasi hari ini rencananya akan menghancurkan salah satu pusat militer Israel di daerah perbatasan. Memimpin paling depan, langkah Ayyash sedikitpun tak digelayuti keraguan, saat diam-diam mereka menyusup. Allah memberinya bidadari, dan tak lama lagi, ia akan menyusulnya.
Pikiran bahagianya bicara. Ayyash tersenyum, mengaktifkan alat peledak yang melilit badannya. Ini., untuk perjuangan.
Dan.. bumi yang terharu atas perjuangan anak-anaknya, pun meneteskan air mata.
Hujan pertama pagi itu, untuk Ayyash dan Ayesha.
Sumber dari Tukang Kompor
0 Komentar
Give me your comment, please...